KESEHATAN MENTAL DI MASA PANDEMI
KESEHATAN MENTAL DI MASA PANDEMI
Pandemi
Covid-19 terjadi secara menyeluruh di berbagai negara. Covid-19 merupakan
penyakit menular yang disebabkan oleh virus corona yang baru ditemukan pada
akhir 2019. Sebagian besar orang yang terinfeksi virus corona akan mengalami
penyakit pernapasan ringan hingga sedang dan sembuh tanpa memerlukan perawatan
khusus. Orang yang lebih tua, dan mereka yang memiliki masalah medis mendasar
seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit pernapasan kronis dan
kanker lebih mungkin menunjukkan gelaja yang lebih serius (WHO, 2020). Covid-19
pertama kali dikonfirmasi di kota Wuhan, Cina pada 31 Desember 2019. Virus ini
kemudian menyebar ke berbagai negara hingga pada tanggal 11 Maret 2020,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Covid-19 dalam kategori Pandemi
(WHO, 2020). Penyebaran Covid-19 juga terjadi di Indonesia, dengan kasus
pertama pada tanggal 1 Maret 2020. Kasus Covid-19 di Indonesia sendiri
mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Dari data pada 30 Juni 2020,
jumlah kasus terkonfirmasi di Indonesia adalah 56.385 kasus dengan jumlah
kematian mencapai 2.876 (Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, 2020).
Berbagai
upaya dilakukan untuk menekan penyebaran Covid-19. WHO menghimbau penerapan
beberapa protokol kesehatan yang cukup ketat seperti menggunakan masker,
mencuci tangan dan pembatasan sosial dan aktivitas fisik. Di beberapa negara
seperti Cina, Italia, Spanyol, Malaysia dan Filipina menerapkan sistem Lockdown.
Negara-negara tersebut menutup akses masuk maupun keluar dari negara tersebut.
Sedangkan di Indonesia pemberlakuan protokol kesehatan dimulai sejak
pertengahan Maret 2020, dimana hampir seluruh wilayah Indonesia menerapkan
sistem pembatasan sosial dan aktivitas fisik serta penggunaan masker dengan
diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Selain itu, Pemerintah
melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga mengumumkan bahwa kegiatan
belajar mengajar di sekolah ditutup, serta menetapkan pembelajaran melalui
media daring. Kebijakan tersebut sejalan dengan kebijakan yang diterapkan di
negara lain. Pada 8 April 2020, sekolah-sekolah di 188 negara ditutup. Menurut
UNESCO lebih dari 90% pelajar terdaftar (1,5 miliar anak) di seluruh dunia saat
ini tidak menjalani Pendidikan (Lee, 2020).
Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa wabah penyakit seperti wabah SARS pada 2003, H1N1
pada 2009 dan Ebola pada tahun 2014 dapat memengaruhi kesehatan mental. Dampak
psikologis yang dikaitkan dengan wabah penyakit diantaranya adalah depresi (Ko,
Yen, Yen, & Yang, 2006), stress dan kecemasan (Taha, Matheson, &
Anisman, 2014), serta gangguan stress pasca-trauma (Shultz, Baingana, &
Neria, 2015). Permasalahan psikologis yang terjadi sebagai dampak dari bencana
terkait kesehatan tidak hanya berdampak pada orang dewasa, tetapi juga pada
anak-anak dan remaja. Ditemukan bahwa sejumlah orang tua yang dikarantina atau
terisolasi menyatakan bahwa anak-anak mereka mulai menggunakan layanan
kesehatan mental selama atau setelah dikarantina dengan diagnosa paling umum
adalah gangguan stress akut, kesedihan, kecemasan dan stress pasca-trauma
(Sprang & Silman, 2013). Berbagai bentuk gangguan yang muncul sebagai
dampak dari menghadapi pandemi yang disebutkan diatas termasuk pada
permasalahan distress psikologis dan disfungsi sosial. Distress psikologis
sendiri didefinisikan sebagai keadaan emosional yang ditandai dengan depresi
(kehilangan minat, kesedihan dan keputusasaan) dan gejala kecemasan (tegang dan
gelisah). Manifestasi dari distress psikologis yaitu paparan peristiwa stress
yang mengancam kesehatan fisik maupun mental, ketidakmampuan dalam mengatasi
stressor tersebut serta munculnya gejolak emosi karena tidak mampu mengatasi
hal tersebut (Drapeau, Marchand, & Beaulieu-Prévost, 2011). Sedangkan
disfungsi sosial adalah ketidakmampuan seseorang untuk dapat memenuhi tuntutan
sosial serta melakukan peran sosial yang dimiliki secara tepat (Stanghellini
& Ballerini, 2002).
Adanya
pembatasan sosial dan aktivitas fisik serta ditutupnya sekolah bagi remaja
menjadi faktor yang dapat memengaruhi kesehatan mental remaja (Fegert,
Vitiello, Plener, & Clemens, 2020; Lee, 2020; Zaharah & Kirilova,
2020). Kesehatan Mental didefinisikan sebagai suatu keadaan kesejahteraan dimana
individu menyadari kemampuannya sendiri, dapat mengatasi tekanan hidup yang
normal, dapat bekerja secara produktif dan bermanfaat serta mampu memberikan
kontribusi ke komunitasnya. Kesehatan mental merupakan suatu hal yang penting
bagi setiap individu karena berkaitan dengan perilaku di semua tahap kehidupan
(WHO, 2004).
Kesehatan
mental penting bagi remaja terutama berhubungan dengan kurangnya kualitas
tidur, kesulitan fokus, sering lupa dan dapat membuat remaja demotivasi dalam
belajar sehingga menjadikan belajar kurang (Fitria & Ifdil, 2020;
Nurkholis, 2020). Dari penelusuran yang dilakukan melalui pencarian melalui
portal jurnal google scholar, GARUDA, PubMed dan Research Gate dalam rentang
waktu pencarian Juni hingga Juli 2020 dengan menggunakan key word “kesehatan
mental” “mental health” “remaja” “adolencent” dan “Indonesia” belum ditemukan
penelitian terkait dengan gambaran kesehatan mental pada remaja selama Pandemi
Covid-19 di Indonesia. Data mengenai kondisi kesehatan mental remaja dan
faktor-faktor sosiodemografi yang mempengaruhi penting untuk diketahui agar
dapat digunakan sebagai data oleh guru dan sekolah terkait dengan pembelajaran
daring serta oleh praktisi kesehatan mental terkait intervensi bagi remaja
selama pandemi Covid-19.
Kesehatan
mental merupakan sebuah kondisi dimana individu terbebas dari segala bentuk
gejala-gejala gangguan mental. Individu yang sehat secara mental dapat
berfungsi secara normal dalam menjalankan hidupnya khususnya saat menyesuaikan
diri untuk menghadapi masalah-masalah yang akan ditemui sepanjang hidup
seseorang dengan menggunakan kemampuan pengolahan stres. Kesehatan mental
merupakan hal penting yang harus diperhatikan selayaknya kesehatan fisik.
Diketahui bahwa kondisi kestabilan kesehatan mental dan fisik saling mempengaruhi.
Gangguan kesehatan mental bukanlah sebuah keluhan yang hanya diperoleh dari
garis keturunan. Tuntutan hidup yang berdampak pada stress berlebih akan
berdampak pada gangguan kesehatan mental yang lebih buruk. Gangguan kesehatan
mental yang kerap terjadi di masa pandemi COVID19 ini mulai dari yang ringan
sampai yang berat, yakni seperti cemas berlebihan, stress, gangguan stress
pasca trauma, depresi, xenophobia (ketakutan terhadap orang dari negara lain
yang mereka nilai dapat membahayakan keselamatannya), serta permasalahan
kesehatan mental lainnya.
Kelompok
yang paling merasakan dampak psikologis dari pandemi COVID-19 adalah perempuan,
anak dan remaja, serta lanjut usia. Diawali dengan kecemasan yang merupakan
respon terhadap situasi yang mengancam dan biasa terjadi. Kecemasan terbagi
menjadi reaksi yang sifatnya hanya sementara dan reaksi cemas permanen. Rasa
cemas ini seperti cemas tertular SARs-CoV-2, cemas akan pekerjaan yang
terbengkalai di kantor, atau cemas akan keselamatan keluarga. Setiap orang
memiliki cara yang berbeda dalam gejala reaksi cemasnya. Gangguan ini akan
menimbulkan suatu gejala psikis seperti demam, sakit tenggorakan, pusing,
padahal seseorang tersebut tidak terinfeksi COVID-19. Hal ini disebut dengan
psikosomatik. Namun, ada pula reaksi cemas yang tidak menimbulkan gejala
fisiologis pada penderitanya. Mengingat pada masa pandemi banyak perubahan dan
tekanan yang timbul secara cepat, maka tidak menutup kemungkinan bagi seseorang
untuk mengalami stress. Sebagai contoh, orang tua yang mengalami stress akibat
perubahan gaya belajar anak yang harus bersekolah di rumah selama masa pandemi.
Secara
umum, terdapat beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi stress:
1.
Ciptakan pola pikir yang terbalik, dari negative thinking ke positive thinking.
Kita
dapat mengubah cara pola pikir kita terhadap hal yang negatif menjadi hal yang
positif. Sebagai contoh, apabila sebelum masa pandemi kita jarang berkumpul
dengan keluarga kita, selama pandemi kita dapat lebih dekat dan berinteraksi lebih
intens dengan keluarga kita. Contoh lainnya, selama masa pandemi kita menjadi
lebih perhatian terhadap kesehatan serta kebersihan diri kita serta keluarga.
Dengan menciptakan pola pikir seperti ini, kita telah mengubah stress yang pada
awalnya berdampak negatif menjadi sesuatu yang positif.
2.
Cari dukungan dari teman dan keluarga.
Berbicara
dengan teman serta keluarga dapat menjadi hal yang penting saat dalam kondisi
stress. Dengan berkomunikasi, selain kita dapat mencurahkan isi hati terhadap
permasalahan yang tengah dihadapi, juga dapat mendekatkan hubungan dengan orang
tersebut.
3.
Saring informasi yang kurang baik.
Dengan
semakin mudah serta terbukanya akses untuk mendapatkan informasi, kita perlu
menyaring informasi apa saja yang sebaiknya kita terima. Hal ini disebabkan
apabila ada informasi buruk yang masuk ke dalam pikiran kita, maka akan membuat
pikiran terfokus pada informasi-informasi buruk tersebut yang menyebabkan orang
menjadi lebih sulit untuk menghadapi stress.
4.
Jangan takut akan perubahan dan stress.
Stress
akan muncul dengan sendirinya, kapanpun, dan dimanapun. Oleh karena itu, jangan
takut akan stress serta perubahan ataupun masalah yang dapat memicu stress.
Ciptakan pola pikir yang objektif, proporsional, serta rasional dalam mengatasi
permasalahan serta perubahan yang akan terjadi.
REFERENSI
Putri,
A. W., Wibhawa, B., & Gutama, A. S. (2015). Kesehatan mental masyarakat
Indonesia
(pengetahuan, dan keterbukaan
masyarakat terhadap gangguan kesehatan mental). Prosiding Penelitian Dan
Pengabdian Kepada Masyarakat, 2(2).
Marsyah,
B., 2020, Pandemi COVID-19 Terhadap Kesehatan Mental dan Psikososial,
Mahakam
Nursing Journal, 2(8): 353-362.
Rosyanti,
L., Hadi, I., 2020, Dampak Psikologis dalam Memberikan Perawatan dan Layanan
Kesehatan
Pasien COVID-19 pada Tenaga Profesional Kesehatan, Jurnal Penelitian Health
Information, 12(1): 110-130.
KSR Poltekkes
Dare to be volunter!
AKUN SOSMED :
Instagram : @ksrpoltekkes
Youtube : KSR PMI UNIT POLTEKKES PURWOKERTO
Email : ksrpoltekkes11@gmail.com
Komentar
Posting Komentar